Anak disko (disisi kota)


Waaah ingat era 80-an, enak untuk dikenang.
Maaf, bukan artinya generasi sebelum atau sesudahnya tak menarik. Sama saja. Masing-masing era 70-an, 90-an dan abad 21 (wuaaaah abad 21 millenium), ngeri kali namanya, tentu punya kisah-kisah sendiri.

Era 80-an itu, era kampungan masuk ke modern. Era rumah mulai ada listrik 220 Volt. Era sepeda motor trail, dan era berkembangnya musik disco.
“Kapan kita goyang lagi coy?” maksudnya, ngadakan diskotik di rumah-rumah (karena dulu belum ada diskotik kayak sekarang).
Kalau sudah ada acara ulang-tahun, nah, abis potong kue dan tiup lilin, cipika-cipiku, mulailah diputar amplifier, musik disko berdentam, dimulai lagu slow Begees, bergeser ke goyangnya John Travolta.
Dengan ijin tetangga, bereslah sudah. Tancap terus. Dam dum dam…!
Nenek, emak, ocik yang berkonde dan kakek, mbah, ayah yang berkopiah pun mundur, pindah ke bagian belakang rumah. Tak sanggup lagi melihat anak-anak muda menggeliting kayak cendol di lampu blits remang-remang, warna-warni. Silauuuu meeen.. !


Ada kawan awak sekolah, sebut saja namanya si Mardolan, anak disko (disisi kota), Tanjong Morawa sana rumahnya. Syor kali awak liatnya. Kalau ke sekolah rapih kutengok. Perlente. Tiap ada acara ulangtahun, entah anak sma mana saja, suka kali dia datang. Soal diundang apa tidak, itu urusan lain. Yang penting bisa  “turun” menggelinjang di lantai dansa, persis kayak cacing kepanasan.
Lagu “Dirty Dancing” atau “We Go Together” dan lain-lain menghentak, alamaaaak… lupa dia sama PR matematik .


Sungguh era vintage.

Suatu ketika, saking semangatnya di depan cewek waktu berdisko: “breeeet !” sobek lebar celana belahan pantat.
Apaboleh buat, busam kawan tu. Pulang pun jalan mundur, kayak undur-undur, cabuuut ! Pulang terbirit-birit.
Sejak kejadian itu, agak berkurang menggelitingnya.
Busam... !